VIVAnews - Sebuah berita mengejutkan datang dari Negeri Kanguru. Departemen Kesehatan West Australia menyebut, seorang turis diduga terinfeksi virus HIV, saat ditato di Bali.
Peringatan pun dikeluarkan, agar warga Australia yang baru saja menato tubuhnya di Bali segera pergi ke dokter dan mempertimbangkan tes HIV atau tes penyakit lain yang berpotensi menular melalui darah.
Terkait kabar ini, pengamat seni tato dari Magic Ink, Bagus Ferry angkat bicara.
Ferry mengakui, memang 'ujung tombak' penularan HIV adalah jarum. "Dan, patut diketahui, harga jarum tato saat ini sangatlah murah dan sangat mudah didapat, karena saat ini sudah banyak tato supplies (toko penjual peralatan dan perlengkapan tato) di Indonesia, juga di Bali tentunya," kata Ferry kepadaVIVAnews.com, Selasa malam 27 Desember 2011.
Ia mengaku sudah menyambangi hampir seluruh studio tato di daerah Kuta, Denpasar dan Sanur. Dan, menurutnya, prosedur minimal seperti jarum baru, gloves baru, dan lemari sterilisasi nyaris dimiliki semua studio tato. "Dengan logika kasar, cukup dengan membuat tato sebesar bungkus rokok saja itu bisa membeli beberapa box jarum dan gloves. Sedangkan harga lemari steril paling murah kisaran Rp1,5 juta," urai Ferry.
Kendati begitu, Ferry menyakini jika menggunakan jarum baru untuk menato merupakan standar baku. "Jadi, kalau ada oknum yang tidak memakai jarum baru, sangat keterlaluan," imbuhnya.
Ferry mengaku setuju dengan komentar Profesor Tuti Parwati yang dilansir berbagai media massa. Profesor Tuti yang menemukan pertama kali kasus HIV di Indonesia pada tahun 1987 menyebut kecil sekali kemungkinan penularan virus HIV melalui tato. "Tetapi melalui hubungan seksual dan berbagi jarum suntik saat menggunakan narkoba," ucap Ferry menirukan pernyataan Profesor Tuti.
Ferry juga mengajak khalayak untuk melihat perilaku wisatawan Australia saat mereka berlibur di Bali. "Kebanyakan dari mereka hobi mabuk, jadi kemungkinan melakukan banyak hal (baik aktivitas tato atau selain tato) tanpa sadar juga besar," ucap Ferry.
Di Indonesia sendiri, jelas Ferry, ada wadah untuk para seniman tato. Sebagaimana hal itu juga ada di Bali yang diberi nama "Tattoo Artist Club". "Mungkin ini juga bisa jadi pelajaran berharga untuk meningkatkan kualitas kebersihan," harap dia.
"Selama kita tahu prosedur pembuatan tato, saya pikir tidak perlu takut dengan apapun itu."
Sementara pengamat lainnya, Saichu Anwar mengungkapkan jika para penato memiliki etika yang ditaati saat bertindak menato seseorang. "Ada etika yang dibangun oleh para penato. Tidak sembarangan mereka merusak karya seni yang mereka torehkan," kata Saichu saat berbincang dengan VIVAnews.com.
Para penato dan artis tato, kata dia, selain bertindak sebagai mata pencarian, menato merupakan pengejawantahan karya seni. Pertama, jelas dia, studio tato memiliki standar khusus dalam menato tubuh seseorang. Salah satunya satu jarum untuk satu orang. "Mereka tidak mungkin punya jiwa pendendam, kalaupun misalnya mereka tertular HIV," tegasnya.
Ia sama sekali tak memercayai pengakuan seorang wisatawan asal Australia yang mengaku tertular virus HIV pasca-menato diri di Kuta, Bali. Sebabnya, ulas dia, menato bagian dari mata pencarian mereka. "Juga tak mungkin mereka merusak hasil karya mereka dalam konteks kesenian," tutur Saichu.
Sejak industri pariwisata Bali tumbuh, kata dia, seni tato juga menjadi bagian tak terpisahkan yang ikut berkembang. Apalagi jauh sebelum tato booming di Bali, masyarakat Bali sudah mencintai karya seni tato. "Dan, tidak ada kasus seperti itu," tegasnya.
Gede Rai, seorang pecinta tato menandaskan, pengakuan wisatawan asal Australia itu harus disampaikan secara utuh. "Kapan dia menato diri di Bali. Karena, HIV baru bisa terdeteksi empat tahun setelah dia tertular. Juga harus dicek perilaku wisatawan itu, jangan-jangan dia juga pemakai (narkoba)," kata Rai.
Tubuh seseorang, menurut Rai, merupakan kanvas yang harus dihargai. Lantaran itu pula artis tato dan para pemilik studio tato tahu betul cara penularan virus yang belum ditemukan obatnya itu. "Artis dan pemilik studio tato itu sudah faham betul tentang cara penularan virus HIV.
"Jadi harus dipertanyakan infeksi HIV itu sebelum atau sesudah tato. Apakah dia melakukan aktivitas seksual secara tidak aman, atau memakai bersamaan suntikan untuk obat-obatan terlarang," tegas Rai.
Laporan: Bobby Andalan | Bali, umi
• VIVAnewsPeringatan pun dikeluarkan, agar warga Australia yang baru saja menato tubuhnya di Bali segera pergi ke dokter dan mempertimbangkan tes HIV atau tes penyakit lain yang berpotensi menular melalui darah.
Terkait kabar ini, pengamat seni tato dari Magic Ink, Bagus Ferry angkat bicara.
Ferry mengakui, memang 'ujung tombak' penularan HIV adalah jarum. "Dan, patut diketahui, harga jarum tato saat ini sangatlah murah dan sangat mudah didapat, karena saat ini sudah banyak tato supplies (toko penjual peralatan dan perlengkapan tato) di Indonesia, juga di Bali tentunya," kata Ferry kepadaVIVAnews.com, Selasa malam 27 Desember 2011.
Ia mengaku sudah menyambangi hampir seluruh studio tato di daerah Kuta, Denpasar dan Sanur. Dan, menurutnya, prosedur minimal seperti jarum baru, gloves baru, dan lemari sterilisasi nyaris dimiliki semua studio tato. "Dengan logika kasar, cukup dengan membuat tato sebesar bungkus rokok saja itu bisa membeli beberapa box jarum dan gloves. Sedangkan harga lemari steril paling murah kisaran Rp1,5 juta," urai Ferry.
Kendati begitu, Ferry menyakini jika menggunakan jarum baru untuk menato merupakan standar baku. "Jadi, kalau ada oknum yang tidak memakai jarum baru, sangat keterlaluan," imbuhnya.
Ferry mengaku setuju dengan komentar Profesor Tuti Parwati yang dilansir berbagai media massa. Profesor Tuti yang menemukan pertama kali kasus HIV di Indonesia pada tahun 1987 menyebut kecil sekali kemungkinan penularan virus HIV melalui tato. "Tetapi melalui hubungan seksual dan berbagi jarum suntik saat menggunakan narkoba," ucap Ferry menirukan pernyataan Profesor Tuti.
Ferry juga mengajak khalayak untuk melihat perilaku wisatawan Australia saat mereka berlibur di Bali. "Kebanyakan dari mereka hobi mabuk, jadi kemungkinan melakukan banyak hal (baik aktivitas tato atau selain tato) tanpa sadar juga besar," ucap Ferry.
Di Indonesia sendiri, jelas Ferry, ada wadah untuk para seniman tato. Sebagaimana hal itu juga ada di Bali yang diberi nama "Tattoo Artist Club". "Mungkin ini juga bisa jadi pelajaran berharga untuk meningkatkan kualitas kebersihan," harap dia.
"Selama kita tahu prosedur pembuatan tato, saya pikir tidak perlu takut dengan apapun itu."
Sementara pengamat lainnya, Saichu Anwar mengungkapkan jika para penato memiliki etika yang ditaati saat bertindak menato seseorang. "Ada etika yang dibangun oleh para penato. Tidak sembarangan mereka merusak karya seni yang mereka torehkan," kata Saichu saat berbincang dengan VIVAnews.com.
Para penato dan artis tato, kata dia, selain bertindak sebagai mata pencarian, menato merupakan pengejawantahan karya seni. Pertama, jelas dia, studio tato memiliki standar khusus dalam menato tubuh seseorang. Salah satunya satu jarum untuk satu orang. "Mereka tidak mungkin punya jiwa pendendam, kalaupun misalnya mereka tertular HIV," tegasnya.
Ia sama sekali tak memercayai pengakuan seorang wisatawan asal Australia yang mengaku tertular virus HIV pasca-menato diri di Kuta, Bali. Sebabnya, ulas dia, menato bagian dari mata pencarian mereka. "Juga tak mungkin mereka merusak hasil karya mereka dalam konteks kesenian," tutur Saichu.
Sejak industri pariwisata Bali tumbuh, kata dia, seni tato juga menjadi bagian tak terpisahkan yang ikut berkembang. Apalagi jauh sebelum tato booming di Bali, masyarakat Bali sudah mencintai karya seni tato. "Dan, tidak ada kasus seperti itu," tegasnya.
Gede Rai, seorang pecinta tato menandaskan, pengakuan wisatawan asal Australia itu harus disampaikan secara utuh. "Kapan dia menato diri di Bali. Karena, HIV baru bisa terdeteksi empat tahun setelah dia tertular. Juga harus dicek perilaku wisatawan itu, jangan-jangan dia juga pemakai (narkoba)," kata Rai.
Tubuh seseorang, menurut Rai, merupakan kanvas yang harus dihargai. Lantaran itu pula artis tato dan para pemilik studio tato tahu betul cara penularan virus yang belum ditemukan obatnya itu. "Artis dan pemilik studio tato itu sudah faham betul tentang cara penularan virus HIV.
"Jadi harus dipertanyakan infeksi HIV itu sebelum atau sesudah tato. Apakah dia melakukan aktivitas seksual secara tidak aman, atau memakai bersamaan suntikan untuk obat-obatan terlarang," tegas Rai.
Laporan: Bobby Andalan | Bali, umi
0 komentar:
Posting Komentar